Watergius's Journal

The world as I see it

Tag Archives: snorkeling di pulau liukang

Bara, Bira, dan Bersenang-senang

31 Januari – 2 Februari 2014

***

Perjalanan 12 jam dari Sorowako ke Makassar pun akhirnya berakhir sudah. Setelah mengambil mobil sewaan, sebuah Innova (harga sewa perhari sekitar 300 ribu) dan sebuah Avanza (harga sewa perhari sekitar 250 ribu), kami pun mencari sarapan sekalian menunggu seorang teman lagi datang dari tempat jauh sebelum akhirnya akan melanjutkan perjalanan ke Bara.

Berada di Makassar, menu pilihan sarapan pagi kami pun jatuh ke coto, Coto Nusantara namanya. Berlokasi tidak jauh dari daerah Pantai Losari dan juga memiliki rasa yang sudah teruji, ketika jam masih sepagi itu, warung itu sudah dipadati banyak orang. Untunglah kami masih dapat tempat, walaupun padat-padatan, sehingga bisa merasakan nikmatnya Coto Makassar.. di Makassarnya langsung.

Coto Nusantara

Coto Nusantara

Setelah kenyang sarapan, kita pun lanjut nge-cafe dulu di Cafe Zodiac di suatu daerah di tengah kota Makassar sembari menunggu teman dari tempat yang jauh tadi datang. Ada satu minuman yang cukup menarik di daftar menunya, Avocado Coffee (kopi alpukat). Bagaimana rasanya? Mirip teh hijau latte. Benar. Kok bisa? Entahlah, tapi yang pasti aku sudah pernah mencobanya dan satu kali sudah cukup.

avocado coffee

avocado coffee

**

Perjalanan dari Makassar ke Tanjung Bira membutuhkan waktu sekitar lima jam, dan dari Bira ke Bara sekitar 15 menit lagi. Di tengah perjalanan, waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua dan kami sudah kelaparan. Aku dan beberapa orang teman, yang kebetulan berada di mobil terdepan, pun ditugaskan untuk mencari tempat makan.

Susah nih di daerah Jeneponto nyari tempat makan, kata salah seorang teman semobil, soalnya bukan tempat wisata sih.

Benar juga omongan dia, soalnya dari tadi kita belum berhasil menemukan tempat makan, hingga akhirnya aku melihat sebuah warung bakso. Saat tadi mobil melaju melewati tempat itu, aku melihat sekilas kalau tempatnya cukup bagus, setidaknya untuk daerah sini. Sebuah penilaian yang nantinya akan kami sesali.

Mendekati pintu warung itu, kami sebenarnya antara mau tidak mau untuk melangkah masuk. Namun, berhubung kami sudah kepalang berdiri di pintu masuk dan si Ibu pemilik warung sudah siap-siap melayani kami, kami pun melangkah masuk dan segera duduk.

warung bakso pinggir jalan

warung bakso pinggir jalan

Saya pesan mie goreng, jawabku saat ditanya mau makan apa, dan ternyata hampir semua teman-temanku yang lain juga memesan itu. Alasanku memesan mie goreng sebenarnya sederhana, yakni proses penggorengan akan membuat kuman2 (kalau ada) mati. Semudah itu. Sementara teman2 yang lain, mereka pikir mie goreng itu adalah indomie goreng, tapi ternyata mereka salah total.

Tolong mi ki cukanya, kata si Ibu sambil menunjuk ke cuka di hadapanku, yang sedikit banyak memecah situasi kaku saat itu.

Tak lama kemudian mie goreng pun dihidangkan satu per satu di hadapan kami. Ukuran mienya tebal, cukup tebal untuk ukuran mie goreng sebenarnya. Selain mie, butiran kacang tanah yang ditabur di atasnya dan potongan telur rebus pun turut menghiasi. Dan satu lagi, warnanya agak coklat tua dengan tektur yang tidak terlalu kering.

Suapan pertama. Ada rasa yang cukup asing buat lidahku. Antara kecap yang terlalu asin dengan rasa cuka yang cukup menonjol. Suapan kedua, rasa itu masih tetap sama dan tempo makanku pun mulai melambat. Aku pun menoleh ke teman-teman yang lain dan mereka sepertinya merasakan hal yang sama. Bahkan, salah seorang temanku hanya mencicipi sekilas doang, kemudian meletakkan sendok dan garpunya. Kenapa aku cukup menekankan sendok dan garpu di sini? Karena ada seorang teman yang tidak sadar dari tadi dia makan menggunakan sendok dan sendok. Mungkin karena saking penasarannya kali dengan rasa mie goreng itu.

Dari dua belas kami yang ada di warung itu, dua orang berusaha tampil beda dengan memesan bakso. Setelah melihat kondisi mie goreng yang kami santap, dengan was-was mereka mengamati bakso yang baru saja dihidangkan di hadapan mereka.

Gigitan pertama. Butuh usaha untuk menggigitnya, apalagi mengunyahnya. Baksonya sangat alot. Saking alotnya, mungkin hanya satu dari sekian banyak bakso yang dihidangkan dalam satu mangkok, yang berhasil mereka habiskan.

*

Pasti itu tadi bakso daging kuda, seorang teman di mobilku mengutarakan pendapatnya saat kita telah beranjak pergi meninggalkan warung tadi.

Mungkin juga. Soalnya Jeneponto kan banyak kudanya, dan terkenal juga dengan coto kudanya, kata yang lainnya.

**

Sekitar dua setengah jam kemudian kami pun sampai di Tanjung Bira. Setelah membayar karcis masuk Rp 10.000 per orang (jangan buang karcisnya sebab dapat digunakan lagi bila misalnya ingin keluar masuk kompleks Tanjung Bira), kami pun melanjutkan perjalanan kami ke Bara, tempat kami akan menginap dua malam ini.

Patokan untuk menuju ke vila tempat kami menginap adalah jalan menuju Mangga Lodge. Selain itu, jalan menuju ke Bara ini juga adalah jalan yang sama menuju ke “cafe-cafe mini-karaoke” yang baru beroperasi malam hari, jika kau tahu maksudku.

DSC_0026

pilih arah kiri, searah Mangga Lodge

Dari persimpangan jalan Bara Beach Bungalow dan Mangga Lodge, lokasi vila itu paling2 beberapa ratus meter, persis menghadap ke lautan dengan pantai yang putih.

DSC_0033

vila kita yang tepat menghadap ke pantai

Bila ingin liburan ramai-ramai ke Bara (atau bahkan Tanjung Bira sekalipun), vila ini dapat dijadikan pilihan. Pada saat kami menginap di sini, biaya yang dikenakan pemiliknya adalah Rp 1,3 juta permalam. Vila ini dilengkapi dengan tiga kamar tidur (semuanya full AC), 2 kamar mandi (WC jongkok), dan dapur (lengkap dengan alat masaknya). Hanya saja, disarankan untuk membawa kabel extension sendiri sebab hanya ada dua sumber listrik untuk nge-charge gadget dan semacamnya. Sebagai acuan, koordinat tempat ini (menurut aplikasi kompas di hp-ku) adalah 5 36′ 50″ S 120 27′ 14″ E.

Setelah meletakkan barang2 di dalam kamar dan ganti pakaian, kita pun lari ke pantai, berenang ke lautan. Setelah capek, kita duduk-duduk di pinggir pantai, menikmati segarnya angin laut, mendengarkan merdunya suara ombak, dan memandang indahnya matahari terbenam.

DSC_0039

menikmati sunset di pantai dengan vila tepat di belakang kita

**

Keesokan harinya, agenda pertama kita adalah snorkeling di sekitaran Pulau Liukang. Setelah malam sebelumnya memesan kapal (Rp 350 ribu per kapal) di Salassa (warung tempat kita akan makan malam ini), kita pun berangkat menuju ke Pelabuhan Bira, tempat dua kapal motor telah menunggu untuk membawa kita bertualang.

DSC_0083

perahu paling kanan dan tengah yg kita gunakan ke P.Liukang

ayo berangkat!!!

ayo berangkat!!!

Meninggalkan Pelabuhan Bira, ombak mulai terasa menghantam kapal. Dengan angin yang semakin bertiup kencang, ombak pun semakin menjadi-jadi menghantam kapal. Kapal yang kita naiki seakan melompat-lompat, layaknya anak-anak perempuan yang bermain lompat karet. Hanya saja, kali ini yang dilompati adalah ruang kosong yang terbentuk akibat air laut yang seakan bersatu membentuk segitiga, hampir siku-siku, dengan bagian bawah kapal bergerak menyusuri sisi miringnya. Seiring dengan hempasan kapal ke lautan, air pun mulai masuk. Awalnya pelan, lama kelamaan semakin besar dan sering intensitasnya. Ada teman yang berteriak ketakutan, namun lebih banyak lagi yang berteriak kesenangan. Merasakan adrenalinnya terpacu. Oleh ombak yang membasahinya, oleh angin menghempas tubuhnya, oleh kebebasan yang dirasakannya.

Setengah jam lebih berlalu, kami pun sampai di pesisir pantai Pulau Liukang. Setelah kapal menurunkan jangkarnya, kami pun bersiap-siap dan segera melompat masuk ke dalam lautan.

Bawah lautnya boleh dikatakan cukup bagus. Cukup banyak ikan, walaupun masih kecil-kecil. Terumbu karangnya juga cukup berwarna dan masih banyak yang hidup. Selain itu, terdapat juga ubur-ubur kecil, yang entahlah beracun atau tidak, sebab aku selalu menghindari kontak dengannya.

Hal yang kurang kusuka adalah cukup banyak sampah yang bisa ditemukan di bawah air, terutama plastik. Selain itu, posisi terumbu karang yang sangat dekat dengan permukaan sangat berbahaya jika kita snorkeling tanpa menggunakan baju alias telanjang setengah. Dengan ombak yang kencang pagi itu, paha kananku pun akhirnya berkenalan dengan salah satu spesies terumbu karang di situ dan mengeluarkan darah segar. Untunglah tidak ada hiu di perairan itu, kalau tidak, bisa-bisa ribet urusannya.

*

Setelah snorkeling, kita memutuskan untuk segera balik ke penginapan untuk mandi dan bersiap-siap makan siang di Amatoa Resort.

Kita sempat kesusahan mencari Amatoa ini sebab tidak adanya papan nama yang dipasang di luar gerbangnya. Namun akhirnya kita berhasil juga setelah nanya2, dan ini adalah lokasinya menurut google maps hpku (diambil saat sudah duduk manis di restoran di Amatoa Resort).

screen shot lokasi Amatoa Resort

screen shot lokasi Amatoa Resort

Berlokasi tepat di tebing yang menghadap ke lautan luas, pemandangan dari resort ini memang sangat memanjakan mata.

memasuki Amatoa dengan pemandangan laut lepas

memasuki Amatoa dengan pemandangan laut lepas

"geng" 2007 menatap masa depan di balik lautan

“geng” 2007 menatap masa depan di balik lautan

habis lompat dari tebing dan berhasil selamat ;)

habis lompat dari tebing dan berhasil selamat 😉

Menu makan siang di tempat ini yang aku rekomendasikan adalah Ayam Kari sesuatu (lupa nama lengkapnya). Karinya sangat terasa dan aromanya juga menggugah selera. Hanya saja, dengan harga seporsinya Rp 50.000, hanya ada lima potong kecil daging ayam yang dihidangkan. Jadi, jangan kaget jika daging ayamnya sudah habis duluan padahal nasinya masih sisa banyak. Untunglah, makan pakai kuah karinya saja juga sudah enak kok.. 🙂

Setelah kenyang makan siang, kita pun kepingin minum air kelapa muda. Setelah bertanya informasi kepada bapak penjaga vila kita, kita pun sampai di pesisir pantai yang namanya Panrang Luhu.

lokasi panrang luhu tempat kita makan kelapa muda

posisi panrang luhu tempat kita makan kelapa muda

kelapa muda dengan sendoknya terbuat dari kulit kelapa itu sendiri

kelapa muda dengan sendoknya terbuat dari kulit kelapa itu sendiri

Ternyata, tak jauh dari pendopo tempat kita berteduh (sambil makan kelapa muda), kita dapat melihat Kapal Phinisi sedang dibangun.

pembuatan Kapal Phinisi

pembuatan Kapal Phinisi

**

Pulang dari Panrang Luhu, kami singgah sebentar di Salassa untuk memesan makanan sekalian memesan meja untuk makan nanti malam. Jika kau berencana makan malam di Salassa, aku sarankan untuk melakukan hal yang sama seperti ini juga. Kenapa? Dalam beberapa alinea lagi akan aku jelaskan alasannya.

*

Setelah memesan makanan, kita pun balik ke vila. Dengan waktu kosong sekitar dua jam lebih sebelum makan malam jam 7, kita pun memutuskan untuk bermain-main lagi di pantai, bermain dengan ombak yang tidak ramah lagi.

Dengan angin yang bertiup sebegitu kencangnya, tak heran ombak yang terbentuk juga cukup besar. Hanya saja, saat berada di Bara hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri. Dengan dasar lautan yang dangkal sampai beberapa ratus meter ke arah lautan luas, bermain-main dengan ombak menjadi hal yang menyenangkan. Bahkan, kita sengaja mencari posisi tempat ombaknya cukup tinggi dan kemudian melemparkan badan kita ke arahnya. Dan ternyata tak hanya kita, bahkan semua orang di situ melakukan hal yang sama. Untuk kesenangan bermain ombak sebenarnya, ada ban yang disewakan di pinggir pantai seharga Rp 5 ribu satunya. Sewalah dan naikilah itu sambil bermain-main dengan ombak. Kau tidak akan menyangka hal semacam ini dapat membuat orang-orang dewasa dapat bahagia seakan-akan kita masih anak kecil.

*

Pukul 7 malam kita telah berada di Salassa dan segera duduk di tempat yang telah kita pesan. Tak lama setelah duduk, makanan kita pun segera dihidangkan. Para pengunjung lainnya yang berada di situ pun menatap kita, mungkin bertanya-tanya, mungkin juga merasa dicurangi.

Salassa adalah sebuah tempat makan kecil (juga menawarkan penginapan seharga 100 ribu per malam) di Tanjung Bira yang makanannya paling enak selama kami di sana, menurutku. Hanya saja, Salassa ini memiliki pandangan yang unik dalam menyajikan hidangannya ke konsumennya yang secara terang-terangan mereka tuliskan di papan pengumuman di depan ruang makan.

@Salassa - be patient...

@Salassa – be patient…

Yeah, mereka butuh waktu yang lama untuk memasak makanan dari sejak mulai pemesanan. Jadi, tempat makan ini menawarkan makanan rumahan yang segar, yang bumbu masaknya baru diracik saat akan dimasak. Tak heranlah waktu tunggunya lama. Tapi, sepadankah? IYA. Masakannya benar-benar enak. Mungkin karena mereka memasaknya dengan perasaan cinta kali ya, sama seperti yang mereka tuliskan di papan di atas.

Menu favoritku, nasi campur ikan sesuatu (lupa lagi namanya) dan tahu tempe bumbu bali. Khusus untuk nasi campur ini, sebenarnya sudah terdiri dari nasi, telor ceplok, ikan (yang dimasak dengan bumbu sesuatu itu), serta tahu dan tempe bumbu bali. Namun, berhubung kami makan ramai2, memesan seporsi khusus lagi tahu tempe bumbu bali sepertinya pilihan yang lebih bijak. Lagipula, rentang harga makanannya juga tidak terlalu mahal, yaa, masih masuk akallah.

Nasi Campur "sesuatu"

Nasi Campur ikan “sesuatu”

Tahu tempe bumbu bali

Tahu tempe bumbu bali

**

Pukul 07.00 keesokan harinya kami segera beranjak meninggalkan tempat itu sebab ingin mengejar makan siang di Palubasa Serigala di Makassar…. sebelum melanjutkan 12 jam perjalanan lagi pulang ke Sorowako.

***
atampubolon