13-15 Februari 2014
***
Kubeli tiketku sekitar enam bulan yang lalu, tepatnya pada pertengahan bulan Agustus 2013, untuk keberangkatan Februari 2014. Tepat dua hari sebelum hari pernikahan temanku, sehari sebelum Hari Valentine, dan tanpa kuduga, tepat pada hari dimana Gunung Kelud meletus.
Dengan harga promo 75 ribu untuk penerbangan Jakarta-Surabaya dan 45 ribu untuk arah sebaliknya, dulu aku mikirnya, yaaa, kalau batal juga paling ruginya gak seberapalah. Dan memang kejadian, sebab aku tidak dapat menggunakan tiket pulang Surabaya-Jakarta itu..
*
Citilink punya kebijakan baru untuk menyertakan biaya airport tax mereka dengan biaya tiketnya. Hanya saja, karena kebijakan ini sendiri baru berlangsung beberapa minggu, tiket2 yang dibeli sebelum kebijakan baru ini diterapkan masih tetap diharuskan membayar airport tax. Sayang sekali, padahal tadi sudah sempat membayangkan akan menghemat duit 40 ribu.. haha
Ada satu kejadian mengenai tempat duduk di pesawat yang sudah beberapa kali aku alami, yang entahlah karena kebetulan ataupun ….. kebetulan (sih sepertinya).
Belakangan ini hampir semua maskapi penerbangan memungkinkan kita untuk melakukan check-in secara online melalui internet. Saat check-in, biasanya tempat duduk kita sudah ditentukan (yang kita pilih sebelumnya saat membeli tiket online), kecuali di maskapai Garuda Indonesia (yang aku tahu). Nah, posisi tempat duduk ini sendiri memiliki harga yang berbeda-beda, yang pada akhirnya mempengaruhi harga akhir tiket kita. Tempat duduk deretan paling depan dan di deretan jendela darurat itu biasanya yang paling mahal, dan sialnya yang selalu kuinginkan sebab jarak antar bangkunya yang lebih lapang. Karenanyalah, biasanya aku memilih tempat duduk di bagian lorong (aisle) tepat satu baris di depan ataupun di belakang jendela darurat tadi. Dengan adanya persyaratan bahwa orang yang duduk di baris itu harus mampu membantu melakukan evakuasi, maka tak jarang saat orang tua, anak2, maupun orang2 yang dirasa pramugari pesawat kurang sesuai untuk duduk di situ, duduk di barisan itu, aku mendapatkan tawaran dari sang pramugari untuk menggantikan tempat mereka. Tawaran yang tentu saja kusambut dengan jawaban mantap, boleh mbak, seraya lekas berdiri…
**
Satu jam lima belas menit adalah waktu tempuh Jakarta Surabaya. Setelah duduk manis hampir setengah jam lebih di dekat pintu keluar bandara, temanku, sekaligus tuan rumah tempat aku akan menginap malam ini, pun menelepon mengatakan kalau dia sudah menunggu di luar.
Tujuan pertama kita adalah mencari makan siang. Kalau baca dari blog-blog traveler, mereka bilang tidak lengkap rasanya ke Surabaya kalau belum makan Rawon Setan (berlokasi tepat di depan hotel JW Marriot), dan ke sanalah kita pergi siang itu..
seporsi Rawon Setan seharga 35 ribu
Aku tidak ahli tentang makanan yang namanya rawon ini. Yang kutahu adalah, dagingnya lembut, bumbunya sangat terasa, dan pedasnya di atas rata-rata. Sedangkan asal usul kenapa diberi nama “setan”, kata temanku sih karena bumbunya itu yang sangat terasa. Tapi, ya entahlah. Yang pasti tempat ini sudah sangat terkenal sebab di tiap sisi dindingnya dipenuhi figura foto2 orang terkenal yang menyempatkan diri makan di situ.
Tepat saat kami hampir selesai makan, hujan deras turun. Gak di Jakarta, gak di Surabaya, masa hujan terus, gerutuku. Setelah beres makan, kami pun berpidah posisi duduk ke bagian depan warung sambil menikmati udara sejuk.
Hujan turun deras sederas-derasnya. Seakan tak cukup hanya itu, angin kencang pun turut datang membuat posisi duduk kami di depan warung harus dimundurkan beberapa langkah ke belakang, jika tidak mau basah. Genangan air pun mulai terbentuk di depan kami, bahkan ada bagian jalan raya di depan kami yang sudah terendam air cukup tinggi sebab telah berhasil membuat beberapa pengendara motor yang melewatinya kesusahan (baca : motornya mogok). Cukup mencekam memang situasi sore itu, terlebih lagi saat kami menyaksikan sendiri puluhan bahkan ratusan kecoak merangkak keluar berusaha menyelamatkan diri dari lubang persembunyiannya yang mulai terendam air, tepat di depan kami..
di depan warung, dengan banyak kecoak mati di bawah sandal
**
Hampir sejam lebih kami menunggu, hujan deras pun akhirnya berubah menjadi gerimis. Dan kesempatan ini tidak kami sia-siakan untuk segera melaju ke tempat kontrakan temanku ini, di sekitar daerah ITS.
*
Lalalalala…. lililililiilili….. lulululululu……
Tak terasa beberapa jam berlalu ngobrol ke sana kemari sama temanku itu, sebut saja namanya Rudi, dan teman-teman kosannya, yang kebetulan berasal dari satu almamater SMA denganku. Mungkin karena latar belakang yang sama itulah kali ya kami bisa ngobrol selama itu sampai jam telah menunjukkan hampir pukul 8 malam, padahal aku belum tur keliling Surabaya sama sekali.
Ternyata, Rudi sudah punya rencana di benaknya untuk mengajakku menikmati indahnya cahaya lampu di malam hari di kota Surabaya…
**
Perjalanan dimulai dengan menyebrangi jembatan Suramadu, menginjakkan kaki di Madura, putar arah menuju Surabaya, dan kembali menyebrangi jembatan lagi menuju Surabaya – setelah berhenti dan berfoto di atas jembatan dulu tentunya.
turun dri motor, foto, langsung lanjut jalan – di atas Jembatan Suramadu
Setelah sampai di Surabaya lagi, kita lanjut ke suatu daerah yang aku tidak hapal namanya untuk melihat makan W.R.Supratman (aku baru tahu saat itu kalau ternyata pencipta lagu kebangsaan Indonesia ini dimakamkan di Surabaya). Kemudian, kita lanjut melihat Tugu Pahlawan dibilangan pusat kota Surabaya.
patung proklamator Indonesia di dengan latar belakang Tugu Pahlawan
Belum cukup dengan wisata sejarahnya, Rudi pun mengajakku ke daerah Jembatan Merah, melewati Hotel Yamato (sekarang sudah berganti nama menjadi Hotel Majapahit), serta terakhir melihat patung Sura dan Buaya yang menjadi ikon kota Surabaya.
Karena perut sudah keroncongan akibat terakhir diisi dengan makanan “berat” adalah tadi siang, kita pun lanjut mencari makan di Warung Sedap Malam “Kalkulator” di Taman Bungkul yang terkenal itu. Menurut penuturan Rudi, tempat ini cukup terkenal juga dan makanannya juga enak. Hanya ada dua menu yang dihidangkan, nasi rawon dan nasi soto. Karena aku telah makan rawon tadi siang, akhirnya malam itu pun kuputuskan untuk mencoba nasi soto campurnya.
nasi soto campur
Setelah perut terisi penuh, tur pun dilanjut lagi dengan mengunjungi Rumah “hantu” Darmo. Bukan mengunjungi sih sebenarnya istilah yang tepat sebab kami hanya lewat sekilas di depan rumah itu, yang ternyata di luarnya ada banyak orang berkumpul, menunggu waktu yang tepat buat masuk sepertinya. Sempat ditawari Rudi untuk masuk sih, cuma tawaran itu kutolak mentah-mentah.
Keluar dari kompleks perumahan Darmo, kami pun melanjutkan perjalanan untuk melihat sekilas lokalisasi Dolly. Sempat agak takut juga sebenarnya melewati tempat itu. Apalagi bila motor yang kau gunakan melaju pelan, orang tidak akan segan memegang pundakmu sambil menunjukkan arah ke parkiran motor, yang kemudian tinggal dilanjutkan dengan sedikit jalan kaki ke arah etalase-etalase kaca dengan wanita-wanita berpakaian seksi di dalamnya. Untunglah ujung jalan itu segera kelihatan dan kami segera melanjutkan perjalanan pulang.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah 12 malam dan ban depan motor kami bocor. Sungguh suatu kejadian yang sangat tidak diinginkan di waktu selarut itu. Sambil terus melihat ke segala arah, mencari tukang tambal ban, kami tetap meneruskan perjalanan pulang pelan-pelan. Akhrinya, setelah cukup jauh berkendara, kami menemukan tukang tambal ban yang masih buka, tak jauh setelah melewati Universitas Airlangga. Sungguh kami sangat beruntung.
menambal ban motor beberapa menit sebelum tengah malam
**
Malam berlalu dan besok paginya saat bangun tidur aku tanpa sengaja mendengarkan berita tentang meletusnya Gunung Kelud dari televisi di kamar Rudi yang memang sengaja dibiarkan menyala sejak tadi malam. Cukup parah letusan gunung itu sebab di berita dikatakan kalau debunya sampai ke daerah-daerah yang jaraknya bahkan mencapai ratusan kilometer darinya, termasuk Surabaya.
Mendengar itu, aku segera bergegas keluar kosan dan mendapati kalau motor yang diparkir di luar telah diselimuti oleh debu abu vulkanik yang cukup tebal. Wow, kataku pelan, sambil bergumam kalau ini adalah kali kedua aku melihat langsung debu letusan gunung berapi. Bagaimana nasibnya nanti perjalanan keretaku ke Madiun ya, tanyaku dalam hati.
PERJALANAN KERETA API DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH TIDAK TERGANGGU …. begitulah kira-kira isi pesan yang terdapat di bagian bawah layar salah satu stasiun TV yang saat itu sedang kutonton, dan memang benar bahwa keretanya tetap jalan. Hanya saja, kejadian yang akan terjadi kemudian tidak aku bayangkan sebelumnya..
*
Kereta api yang aku naiki adalah kereta api Ekonomi AC Logawa dengan tujuan akhir Purwokerto. Oke, keretanya pakai AC, seharusnya udara dari luar tidak akan masuk, termasuk debu abu vulkanik itu, pikirku. Namun ternyata aku salah…
Kereta ekonomi jauh berbeda dengan kereta eksekutif. Tak hanya dari segi harga tiket, tapi juga dari kualitas interior gerbong dan ventilasi kereta. Dengan tidak rapatnya ventilasi gerbong yang aku naiki, udara atau lebih tepatnya debu vulkanik, masih dapat menerobos masuk sehingga memenuhi gerbong. Ditambah lagi dengan adanya beberapa jendela kaca di gerbong itu yang berlubang atau pecah setengah atau apapun namanya, semakin banyaklah debu yang masuk ke dalam gerbongku. Gerbong itu seakan membawa muatan debu yang berterbangan mencari tempatnya diantara kerumunan manusia. Mengisi ruang-ruang kosong. Bahkan tak akan segan-segan masuk ke tubuhmu bila tidak segera kau lindungi.
Saat berhenti di salah satu stasiun aku sempat hendak turun untuk mencari masker. Namun, kata seorang bapak yang berdiri di dekat tangga turun dari gerbong, dia sudah bertanya ke orang-orang di situ dan mereka tidak menjual masker sama sekali. Akhirnya, sebelum aku mabuk karena debu, kuputuskan untuk menggunakan salah satu bajuku menjadi masker dadakan.
dengar masker ala kadarnya – warna putih di luar jendela adalah akibat debu vulkanik yg diterbangkan angin
**
Dua setengah jam berlalu dan aku pun sampai di Madiun. Tak lama setelah keluar dari kereta dan menginjakkan kaki di stasiun, hujan deras turun.. Lagi ?! gumamku. Tapi tanpa kusadari, hujan itu menjadi berkah sebab udara di Madiun menjadi bersih.
*
Lalu kejadian selanjutnya pun berlangsung kira-kira seperti ini :
– dijemput teman yang sekaligus menjadi tuan rumahku, sebut saja namanya Titus, di tengah lebatnya “hujan lumpur”.. walaupun pakai jas hujan, badanku yang tinggi membuat penggunaannya tidak maksimum sehingga celana panjangku basah kuyup dengan lumpur
– ke tempat nikahan temanku bantu-bantu membersihkan tempat itu dari lumpur debu abu vulkanik..
– bantu-bantu ngejemput sepeda dari rumah orang2 sebab tema nikahan temanku besok ada hubungannya dengan sepeda..
– duduk-duduk di tempat nikahan ngedengarin orang2 ngobrol dalam bahasa Jawa (sebgai catatan : aku hanya mengerti segelas dari seember yang mereka bicarakan – jika kau paham maksudku)..
– ngejemput sepeda lagi dari orang-orang..
– pulang ke rumah Titus, makan malam sama keluarganya, istirahat, dan bangun keesokan harinya mendapati rumah Titus telah dipenuhi para penumpang gelap seperti aku yang membutuhkan tempat untuk bersolek sebelum berangkat ke tempat nikahan..
capek mengayuh becak mengantarkan kedua mempelai ke gedung resepsi
para pengayuh sepeda (dan yang diboncengnya) berfoto sama kedua mempelai
membuat “kegaduhan” di acara resepsi..
– dan kemudian dilanjutkan dengan perjalanan pulang malamnya ke Jakarta.. kali ini bukan dengan kereta ekonomi lagi…
***
atampubolon
Recent Comments